Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya; Sebagai Masyarakat Islam yang Berkemajuan

27 November 2014, oleh: superadmin

Oleh: Rijal Ramdani, S.IP., MPA.
Ketua Korps Instruktur DPD IMM DIY dan Dosen AIK Ilmu Pemerintahan UMY.
rijalgarsel@gmail.com

Pendahuluan

Diskusi mengenai konsepsi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya merupakan sesuatu yang sangat menarik. Ada beberapa alasan mengapa konsepsi masyakat Islam yang sebenar-benarnya masih menarik untuk didiskusikan; Pertama, gagasan mengenai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya merupakan inti dari cita-cita peruangan Muhammadiyah yang dirasa masih begitu abstrak, sulit untuk mewujud dalam kehidupan yang senyatanya. Kedua, karena saking abtraksnya para cendikiawan muslim pun, baik di internal maupun di luar Muhamadiyah, satu sama lain memiliki tafsiran yang berbeda terhadap konsepsi masyarakat Islam yang sebanar-benarnya tersebut. Di sisi lain, tafsiran-tafsiran para cendikiawan muslim itu sepertinya sudah tidak relevan dengan arus perubahan masyarakat yang begitu cepat. Dan Ketiga, yang paling menggelisahkan, di internal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sendiri belum memiliki konspsi tentang masyarakat, sehingga fokus gerakan lebih pada pembentukan kalakter kader sebagai akademisi muslim yang berakhlak mulia, padahal gagasan tentang masyarakat yang ideal merupakan titik pembeda antara gerakan sosial (Social Movement Ogranization) dengan kelompok kepentingan (Interest Group) dan Partai Politik (Political Party)  (Thomas, 2004).

Di dalam tulisan ini, di bagian pertama, akan dipaparkan mengenai konsepi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai buah pikiran dari buku “Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya” karya dr. Sudibyo Markus, dkk hasil dari seminar yang dilakukan di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Malang. Dan di bagian kedua, penulis akan mencoba mengaitkan buah pikiran dari konsepsi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di dalam buku karya dr. Sudibyo Markus, dkk tersebut dengan gagasan-gagasan Nurcholis Madjid mengenai masyarakat Islam Indonesia yang dihadapkan pada peroalan modernitas di dalam bukunya yang berjudul “Islam Doktrin dan Peradaban.” Hal ini dilakukan sebagai bentuk ijtihad untuk mencari titik temu di antara kedua buku yang memiliki bahasan tema spesifik dan umum tersebut, mengingat di dalam bukunya “Islam Doktirn dan Peradaban” Nurcholis Madjid begitu luas membincangkan tema-tema sentral di dalam tradisi keilmuan dan pemikiran Islam, sehingga apabila diperbincangkan keseluruhan temanya akan sulit didapatkan makna mendalam dari tema-temanya yang sangat luas tersebut. Sementara dr. Sudibyo Markus, dkk memperbincangkan tema Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya sangatlah spesifik dan mendalam.

Konsepsi Masyarakat Islam

Secara kebahasaan ada beberapa istilah yang digunakan di dalam bahasa arab untuk menyebut masyarakat, hanya saja yang paling popular adalah kata Ummah sehingga tidak kurang dari 49 kali kata Ummah tersebut disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dengan merujuk pada penjelasan secara kebahasaan, dapatlah diambil makna bahwa yang dimaksud dengan Ummah adalah suatu komunitas masyarakat yang hidup secara teratur, memliki tujuan dan aturan main bersama untuk menjaga keterarutan dan tujuannya tersebut (Markus. et.all, 2009: 12).

Mayoritas cendikiawan muslim merefer konsepsi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya ke dalam bentuk masyarakat Madinah di zaman Rasulullah SAW; dengan argumentasi bahwa masyarakat Madinah merupakan masyarakat ideal yang pernah ada di dalam sejarah umat manusia sehingga dikenal dengan khaira ummah. Seperti misalkan pendapat yang disampaikan M. Yunan Yusuf (dalam, Natsir, 2010: 330) dimana baginya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu adalah apabila Individu-individunya utama, sadar akan keberadaannya sebagai abdullah dan kedudukannya sebagai khalifatullah. Di sisi lain sistem dan tatanan sosial serta budaya yang dikembangkan kondusif bagi terwujudya kehidupan yang aman, adil dan makmur, baik secara materil dan spiritual.

Begitupun dengan pendapat Djarnawi Hadikusma (dalam, Natsir, 2010: 328) yang secara spesifik melihat karakteristik utama dari masyarakat islam yang sebenar-benarnya adalah Masyarakat dimana hukum Allah berlaku dan dijunjung tinggi menjadi sumber dari segala hukum lainnya hal itulah seperti yang terjadi di masa Rasulullah SAW. Hukum-hukum tersebut baik yang sifatnya taklifi berlaku bagi individu per individu dalam hubungan ubudiyyahnya dengan Allah SWT maupun wadhy yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia ketika terjadi interaksi antar satu dengan yang lainnya (Zahrah, 2002).

Ahmad Salaby (dalam Natsir, 2010: 331-332) memberikan perbandingkan bagaimana keutamaan masyarakat Islam di masa Rasulallah dibandingkan dengan kondisi masyarakat di masa Jahiliyah. Dengan bahasa yang begitu indah Salaby mengungkapkan bahwa di masa Jahilayah kondisi masyarakat itu senang mabuk-mabukan dan makan bangkai, senang melakukan zinah; dimana Satu perempuan bisa disetubuhi secara beramai-rama, masyarakat hidup dengan tanpa hukum; siapa yang kuat yang dapat dan menang, individu yang lemah pun diperbud, kaum perempuan direndahkan martabatnya sebagai kelas kedua, dan masyarakat pun sangatlah keras dan bar-bar karena senang berperang antar satu suku dengan suku yang lainnya. Kondisi masyarakat yang rusak seperti itu berbeda 180 derajat setelah datangnya Rasulullah dimana masyarakat begitu beradab dan teratur karena sudah mengalami perubahan yang begitu radikal; dari mata pedang ke jalan damai, dari egoisitas kekuatan ke peraturan perundangan, dari balas dendam ke Qishas, dari serba halal  ke kesucian, dari suka merampas ke kepercayaan, dari mengasingkan diri ke rasa percaya diri menaklukan Persia dan Rumawi, dari penyembahan berhala ke Tauhid, dari memandang rendah wanita ke memuliakannya dan  dari sistem kasta ke persamaan.

Sementara sebahagian cendikiawan muslim lainnya memberikan terminology lain mengenai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan merujuk pada kata Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur yang terdapat di dalam Surat Saba ayat 15 sebagai gambaran dari kesejahteraan penduduk dan kesuburan Negri Saba di masa lampau. Dari konsepsi Baldatun Tayyibatun tersebut termaktubkan kriteria bahwa masyarakat Islam yang sebenarnya itu adalah masyarakat yang berada di suatu negri yang penduduknya memiliki pola hubungan harmonis sehingga kesatuan dan persatuan antar sesama penduduk dapat terpelihara dengan baik. Sekalipun tidak menutup kemungkinan penduduknya berbuat dosa dan durhaka, akan tetapi dengan segara melakukan kontemplasi untuk kemudian memohon ampunan kepada Allah, dan Allah pun dengan segera memafkan kesalahan-kesalahannya. Keteraturan alam pun terjadi, kerusakan tidak terjadi, karena manusia mau dan dengan suka rela berhukum dengan hukum Allah, karena dengan aturan dan hukum-hukum Allah lah, niscaya manusia akan mendapati keamanan dan kesejahteraannya (Markus, et.al., 2009: 32-33).

Dari Konsepsi-konsepi itulah, baik dengan merujuk pada kata Khaira Ummat maupun Baldatun Tayyibatu Wa Rabbun Ghafur dapatlah diambil suatu konsepsi oprasional mengenai Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya; dimana secara perseorangan, individu per individu, masyarakat islam yang sebenar-benarnya memiliki karakteristik bertuhan, Beribadah serta hanya tunduk dan patuh kepada Allah; perjuangan dan langkahnya hanya berpegang teguh kepada ajaran Allah; membangun dan beraktivitas di dalam setiap bidang hanya menempuh jalan yang diridhai Allah; dan menjunjung tinggi hukum Allah di atas hukum yang manapun. Sementara secara komunal, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya memiliki karakterisitik; hidup dalam kesejahteraan baik atas dasar jaminan Negara, kedermawanan, ketersediaan dari alam atau buah dari semangat dalam bekerja; masyarakat yang demokratis karena mengedepankan permuyawaratan dalam setiap pengambilan kebijakan menyangkut urusan bersama; masyarakat yang kondusive karena hukum Allah yang menjadi landasan dan pijakan dalam berinteraksi secara komunal; dan bersifat adil, satu sama lain saling menghargai dan setara (Markus, et.all., 2009: 35-37).

Kesimpulan dari masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan merujuk pada padanan kata khaira ummah dan Baldatun Tayyibatun tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Philip K. Hitti (2013; 154-163) yang mengemukakan bahwa pencapaian peradaban yang pernah dibangun Oleh Muhammad SAW merupakan peradaban yang belum pernah dicapai oleh peradaban umat manusia terdahulu; dimana Bangsa Arab yang tadinya tidak menjadi bagian dari perbincangan peradaban-peradaban besar dunia mampu berkembang menjadi Imperium Besar dengan berhasil menaklukan daerah-daerah Subur Mesopotamia dan lembah-lembah sungai Nil sebagai buah dari penaklukan yang dilakukan terhadap Imperium Byzantium dan Persia. Padahal secara geneologis masyarakat Arab bukanlah bangsa penakluk; tidak memiliki kebudayaan mapan seperti bangsa-banga yang lainnya. Semuanya itu tidak terlepas dari bangunan masyarakat yang dibangun Rasulullah di Kota Madinah; dimana secara idividu masyarakat Madinah memiliki keimanan dan kepasrahan yang begitu kuat terhadap Allah SWT yang dengan keimanan itulah menjadikannya tak memiliki rasa takut untuk menghadapi siapapun kecuali rasa takut itu hanyalah terhadap Allah; begitupun mereka duduk sederajat antar satu dengan yang lainnya karena keimanan mengajarkan kesederajatan antar sesama umat manusia tidak ada yang lebih superior di atas manusia yang lainnya. Individu-individu masyarakat Madinah pun memiliki ketundukan yang begitu kuat terhadap perintah-perintah Allah yang termaktub di dalam Rukun Islam, sehingga dengan ketundukannya itulah mampu melahirkan individu-individu tangguh. Sementara secara komunal masyarakat memiliki kondusivitas yang begitu kuat; karena hukum dikedepankan menggantikan system superioritas yang berlaku di masa jahiliyyah; hukum sangat menjerakan dan mampu menjadi pelajaran bagi yang lainnya.

Karakteristik spesifik lainnya menurut Philip K. Hitti (2013) dari masyarakat di masa Rasulullah adalah kecintaannya yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan; Philil K. Hiiti (2013) bahkan sampai pada suatu kesimpulan bahwa menurutnya masyarakat Arab sebetulnya di masa jahiliyyah adalah masyarakat yang tidak memiliki peradaban apapun kecuali sastra Arab. Namun bagaimana mungkin masyarakat yang tidak memiliki tradisi keilmuan mapan tersebut kelak bisa mengembangkan filsafat Yunani yang tercecer menjadi terkompilasikan sehingga menjadi disiplin-disiplin ilmu tertentu (Madjid, 2009). Begitupun dengan ilmu kedokteran yang diambil secara cepat dari tradisi pengobatan Persia, India dan Cina; Arsitektur dari peninggalan Byzantium di Syam; pertanian dan irigasi dari peninggalan peradaban Mesopotamia di lembah sungai Tigris dan Efrat; dan administrasi pemerintahan dari sistem administrasi imperium Persia (Hitti, 2013).

Oleh karenanya Nurcholis Madjid (2008: 234) mengatakan Hikmah itu miliki kaum muslimin, dimana pun berada ia harus diambil dengan terbuka; itulah makna dari the idea of progress yaitu sikap dan mental yang terbuka untuk menerima dan mengambil nilai-nilai duniawi dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran. Bahkan kelak dikemudian hari kaum muslimin mampu membangun satu disiplin ilmu yang khas sebagai produk asli keilmuan Islam, yaitu ilmu Ushul Fiqih; hampir dipastikan setiap peradaban memiliki produk khas keilmuannya; seperti Yunani dengan Filsafatnya; maka begitupun peradaban Islam dengan Ushul Fiqihnya; dimana Ushul Fiqih lahir sebagai kebutuhan akan keberadaan qaidah-qaidah yang bisa menjadi panduan untuk mengambil kesimpulan hukum dari Nash untuk dikontekskan dengan arus perubahan masyarakat di dalam suatu wilayah atau kondisi tertentu. Selain daripada Ushul Fiqih, Ilmu lainnya yang lahir dari tradisi Keilmuan Islam yang belum pernah terlahirkan dari peradaban-peradaban lainnya adalah Ilmu periwayatan hadis; sebagai metode, teknik dan proses periwayatannya; berikut Ilmu Mustholahulnya sebagai metode untuk menelaah derajat kesahihan hadits (Suharto, 2004: 74). Dengan Ilmu Periwayatan Hadits lah otentisitas Qauliyah, Filiyyah dan Takririyyah Nabi Muhammad SAW bisa dipastikan keabsahaannya untuk menegasikan apa-apa yang tidak benar-benar datang darinya.

Menghadapi Modernitas        

Tetapi konsepsi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai masyarakat yang ideal di masa lalu itu tentunya harus dipadankan dengan kondisi masyarakat Indonesia, dengan mayoritas penduduk muslim dan sebahagian lainnya non muslim, yang hampir dipastikan masih memiliki keterbatasan untuk mengkompromikan bentuk-bentuk spesifik dari karaktersitik masyarakat Islam yang sebenarnya tersebut ketika dihadapkan pada kemajemukan umat beragama dan arus perubahan yang begitu cepat dalam ruang modernitas dan globaliasi. Di sisi lain umat Islam pun dihadapkan pada persoalan apakah perlu atau tidak menerapkan syariat yang masih dianggap bahwa formalisasi agama di dalam bernegara merupakan tuntutan yang tak terbantahkan sebagai kewajiban.

Maka tulisan Nurcholis Madjid (2008) di dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban mencoba memberika nilai-nilai komrpomistis bagaimana sesungguhnya ajaran Islam sangat humanis sehingga memberikan keleluasaan bagi penganutnya untuk melakukan interaksi dengan mereka yang memiliki iman berbeda. Begitupun di dalam menghadapi modernitas dan globalisasi, umat islam dituntut untuk terbuka terhadap kemajuan karena kemajuan yang dibawa modernitas dan globalisasi merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Masyarakat Islam di masa lalu memberikan contoh bagaimana terbukanya terhadap tradisi-tradisi keilmuan yang berkembang dalam kebudayaan masyarakat lainnya. Sementara terkait dengan masih adanya gerakan formalisai agama, dengan mengemukakan pandangan Robert N Bellah, Nurcholis Madjid memberikan pandangan bahwa Civil Religion merupakan titik kompromi sebagai nilai yang bisa menyatukan agama-agama. Dengan civil religionlah, antar kelompok beragama tidak akan mengalami konflik, karena ada nilai pemersatu yang menyatukan klompok-klompok agama, ketaatan terhadap Negara tidak berarti di lain pihak akan menegasikan ketaatan terhadap agama yang dianut, melainkan ketaatan terhadap Negara merupakan bentuk ketaatan lain terhadap agama masing-masing. Civil regiligionlah sebagai kata lain dari pluralism secara sosiologis; dimana tidak berarti antar kelompok beragama saling membenarkan agama yang lainnya melainkan antar kelompok agama hidup berdampingan dan saling menghargai atas keyakinan agamanya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Muhammad Abu. 2002. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus. (Terjemehan: Cetakan Kedua).

Madjid, Nurcholis. 2009. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Dian Rakyat (Cetakan Kedua).

Madjid, Nucholis. 2008. Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Dian Rakyat (Cetakan Keenam).

Nashir, Haedar. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Markus, Sudibyo, dkk. 2009. Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya. Jakarta: Civil Islamic Institute.

Suharto, Ugi. Peranan Tulisan dalam Periwayatan Hadis. Journal Islamia. Tahun 1 No.2 Juni-Agustus 2004.

Thomas, Clive S. 2004. Research Guide to U.S. and International Interest Groups. London: Praeger Publishers.