OKSIDENTALISME DAN POSKOLONIALISME

27 November 2014, oleh: superadmin

Oleh: Rijal Ramdani, S.IP.,MPA

Korps Instruktur DPD IMM DIY dan Dosen AIK Ilmu Pemerintahan UMY

rijalgarsel@gmail.com

 OKSIDENTALISME

Membincangkan mengenai Oksidentalisme tidak akan pernah bisa dilepaskan dari Hasan Hanafi, seorang pemikir muslim dari University of Cairo, Mesir. Di dalam artikelnya yang dipublish di Journal of Middle East Policy, dengan judul Occidentalistic; Wolfgang G. Schwanitz,  menyebut Hasan Hanafi sebagai Founding Fathers of Occidentalisme[1]. Masih menurut Wolfgang G. Schwanitz, Oksidentalisme yang digagas Hasan Hanafi kurang lebih ingin melakukan telaah terhadap peradaban Barat dalam sudut pandang ilmuan-ilmuan sosial Timur (Oriental). Hal ini bisa dilihat di dalam bukunya yang sangat popular; The Intoduction to Occidentalisme; dimana di bagian pertama Hasan Hanafi memberikan penegasan bahwa studi Oksidentalisme merupakan bentuk jawaban dari sentralisme ilmu pengetahuan yang berada di Eropa dan dominasi Barat terhadap Dunia Timur, sehingga bisa dikatakan Oksidentalisme vis a vis Orientalisme[2].

Ada beberapa basis argumentasi yang menjadi dasar mengapa Oksidentalisme berhadapan dengan Orientalisme; Pertama apabila Orientalisme muncul dari imperialisme Barat, maka Oksidentalisme muncul dari kesadaran bangsa Arab untuk keluar dari keterpurukan. Kedua, apabila Orientalisme berbasiskan pada riset empiris yang berwatak positivistik, maka Oksidentalisme berwatak pembebasan dan analitik. Ketiga, apabila sifat dari Orientalisme tidak netral karena dimaksudkan untuk memperpanjang dan memperkokoh cengkraman imperialisme, maka sifat dasar dari Oksidentalisme netral tidak memburu kekuasaan; justru Oksidentalisme dihadirkan untuk mengembalikan dunia Islam kepada jati diri yang sejatinya. Dengan posisi yang seperti itulah Orientalisme menjadikan Barat sebagai subjek sementara non-Barat sebagai objek yang bisa dihabisi, maka Oksidentalisme membalikannya dengan menjadikan Barat sebagai Objek kajian dan Dunia Islam sebagai Subjeknya; tetapi bukan untuk menghambisi Barat melainkan hanya untuk mengambil hikmah dari Barat untuk kemudian kembali kepada jati peradaban Islam.

Terlepas dari semua itu; lahirnya Oksidentalisme merupakan bagian dari cara untuk mengembalikan kembali peradaban Islam yang telah menjadi sangat inferior. Dalam pandangan Hasan Hanafi, ada tiga agenda yang harus dilakukan apabila hendak melakukan pembaharuan di Dunia Islam. Pertama, melihat bagaimana sikap kita terhadap tradisi lama; Kedua, melihat bagaimana pandangan kita terhadap tradisi Barat; dan Ketiga adalah melihat bagaimana sikap kita terhadap realita; metodologi; perjanjian baru dan perjanjian lama. Maka Oksidentalisme merupakan tahapan kedua dari  proyek pembaharuan yang dilakukan tersebut, dengan mengupas fase-fase sejarah Barat yang dimulai dari abad pertengahan (masa dominasi greja, masa skolastik lama, dan masa skolastik baru), masa reformasi agama dan kebangkitan (abad 15 dan 16 Masehi), masa rasionalisme dan pencerahan (Abad 17 dan 18 Masehi) dan masa keilmiahan dan eksistensialisme (Abad 19 dan 20 M)[3].

Hal itu dilakukan berangkat dari kesadaran betapa dominasi kebudayaan barat menjadi sesuatu yang sangat niscaya bagi kebudayaan Timur; dominasi tidak hanya terjadi di dalam keilmuan, pendidikan, tetapi juga kebudayaan dan cara pandang secara keseluruhan[4]. Bahkan hampir bisa dipastikan pemikir-pemikir muslim di abad 19 memiliki kontak secara keilmuan dengan tradisi keilmuan Barat; semisal Al-Afghani, Abduh, dan Muhammad Iqbal[5]. Begitupun dengan munculnya kesadaran akan pembaharuan dunia Islam yang dimulai dari Mesir, tidak bisa dilepaskan dari kedatangan Napoleon di tahun 1798 yang mampu menginspirasi Muhammad Aly Pasya dan Al-Thawi untuk melirik tradisi keilmuan dan tatanan sosial yang ada di Prancis[6].

Padahal peradaban Barat bukanlah satu-satunya peradaban yang masuk ke dalam tradisi kebudayaan kita, selain peradaban Barat, peradaban dunia Islam pun sudah dimasuki oleh peradaban Yunani selama 14 Abad; peradaban Arab yang sudah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban Dunia Islam. Sementara peradaban Barat baru masuk sejak 200 tahun yang lalu, tetapi mampu menjadi dominasi bagi peradaban Islam, sehingga peradaban lain yang pernah masuk dan dimiliki oleh dunia Islam menjadi terlupakan; atau bahkan ditinggalkan.

Bisa dikatakan bahwa misi utama dari Oksidentalisme adalah ingin mencoba meletakan peradaban Barat pada posisi yang seharusnya untuk kemudian mengambil manfaat dari kajian yang dilakukan Barat baik dari sisi metodologi; kesadaran maupun dari temuan-temuannya. Sekalipun gagasan itu di kemudian hari melahirkan perdebatan yang cukup panjang, dimana di satu pihak muncul gerakan yang menolaknya sementara dipahak lain justru berkeinginan untuk secara membabi buta mengadopsi keberhasilan Barat.

Kelompok pertama diwakili oleh gerakan liberalisme yang memiliki pandangan bahwa Barat mampu keluar dari keterpurukan akibat berani keluar dari tradisi gereja ke rasionalisme murni melalui renaisance di abad ke 12. Oleh karenanya gerakan rasionalisme murni itulah yang harus ditiru untuk mengeluarkan keterpurukan peradaban Islam kepada puncak kejayaannya kembali. Sementara di pihak kedua muncul gerakan revivalisme, yang justru antipati terhadap tradisi dan peradaban Barat. Dalam pandangan kedua ini, apabila Islam ingin kembali pada puncak kejayaan peradabannya, maka mau tidak mau masyarakat harus ditarik pada kondisi di zaman rasulullah SAW; karena hanya masyarakat di zaman Rasulullah lah yang layak untuk dijadikan sebagai figure ideal bukan kemajuan Barat yang ditopang oleh kerusakan dan bobroknya moralitas[7].

Sementara dalam pandangan lainnya; Mohammed Abed Al-Jabiri memberikan pandangan berbeda; bahwa baginya dunia Islam saat mengalami kemajuan, secara geografis bisa dipetakan pada dua wilayah yaitu; wilayah Timur dalam kekuasaan Abasyah dan wilayah Barat dalam kekuasaan Umayyah II. Perbedaan tradisi keilmuan di kedua wilayah tersebut sangatlah mencolok, dimana di wilayah Timur ilmu yang berkembang adalah ilmu-ilmu ke-Islaman seperti Tafsir, Ushul Fiqih dan Mustholahul Hadits, sementara di wilayah Barat yang berkambang adalah filsafat, sejarah, matemaika, kedokteran dan sosiologi[8]. Namun sayanganya yang mendapatkan legitimasi secara politik adalah ilmuan-ilmuan yang mengembangkan tradisi ilmu ke-Islaman, terutama ulama-ulama madzhab, sementara ilmuan-ilmuan yang mengembangkan keilmuan non-Keislaman justru harus berhadapan dengan kekuaaan. Sehingga wajar, apabila tradisi ilmu non keislaman pada akhirnya mendapatkan resistensi dan kurang begitu diminati oleh kebanyakan kalangan, sementara ilmu-ilmu tradisional ke-Islaman semakin mendapatkan kemapanannya; dan itulah yang menyebar ke belahan-belahan Dunia Islam di kemudian hari.

Akibatnya tradisi filsafat menjadi ternafikan, kejumudan menjadi, Dunia Islam pun jatuh pada akhir dari kejayaan peradabannya. Mau tidak mau, apabila saat ini muncul kesadaran untuk kembali menghidupkan tradisi keilmuan di dunia Islam, proyek pertama yang harus dilakukan adalah melakukan kritik terhadap nalar arab yang dibangun oleh ulama madzhab, untuk kemudian secara intens menghidupkan kembali kajian terhadap pemikir-pemikir Islam di belahan Barat yang terlupakan itu. Proyek pembaharuan sama sekali bukan dengan mengadopsi tradisi filsafat Barat, karena justru Barat mengalami kemajuan seperti yang terjadi saat ini sebagai buah dari kesadaran Barat untuk mempelajari tradisi filafat yang berkembang di wilayah Barat Islam itu[9].

Terhadap perdebatan-perdebatan yang menerima secara terbuka dan menolak itulah, Hasan Hanafi kemudian mengatakan bahwa bagi yang menolak apa-apa yang datang dari Barat, secara Ego hal ini memanglah benar, karena memiliki rasa percaya diri bahwa dunia Islam memiliki tradisi Keilmuan yang kuat, tapi secara defacto tidak bisa dibenarkan, karena dalam beberapa hal Barat haruslah dikaji. Sementara bagi yang menerima apa-apa yang datang dari Barat secara keseluruhan; secara Ego sangatlah salah, karena akan menempatkan dunia Islam pada posisi yang sangat inferior; tetapi secara defacto benar karena Barat haruslah dikaji. Sehingga pada akhirnya Hasan Hanafi memberikan satu kesimpulan bahwa secara Ego dunia Islam haruslah memiliki rasa percaya diri dengan menghilangkan inferioritas di hadapan Barat dan secara defacto ketika dunia Islam ingin menyambut kembali kajayaannya, maka dunia islam harus mempelajari beberapa hal yang datang dan dimiliki oleh Barat.

Menurutnya, ada 3 hal penting yang harus dipelajari dari peradaban Barat; Pertama, sebetulnya kemajuan yang dicapai Barat itu bersumber dari mana? Ternyata sumber kesadaran Eropa dalam melakukan pembaharuan adalah bersumber dari; tradisi filsafat Yunani dan Romawi; Kristen-Yahudi, filsup-silsup Barat selalu mengidentifikasi bahwa rasionalisme yang mereka usung merupakan bentuk reproduksi ulang dari rasionalisme yang pernah ada di masa Yunani. Selain itu sumber kesadaran Barat pun datang dari tradiri Timur Kuno seperti kebudayaan Persia, Cina, India dan dari lingkungan kebudayaan Eropa itu sendiri, seperti; paganism, tradisi dan kebudayaan setempat. Kedua, Kesadaran eropa dimulai sejak dari masa reformasi agama di abad 15 dan 16 M, kemudian di abad 17 M masuk pada fase cogito dan rasionalitas, dan barulah di abad ke 18 M lahirlah kesadaran baru eropa berikut revolusi yang terjadi di Inggris dan Prancis. Dan Ketiga, akhir dari kesadaran Eropa yang dimulai dari prinsip “Saya Berpikir” kemudian  “Saya Ada”; eksistensialisme; dan munculnya positivism dan filsafat fenomenologi yang berkembang sampai saat ini.

POST-KOLONIALISME

Sementara kajian postkolonialisme merupakan kajian yang dilakukan untuk melihat dominasi satu kebudayaan atas kebudayaan lannya paska berakhirnya masa imperialism. Imperialisme sendiri, menurut Tan Malaka, bisa pihami sebagai penjajahan yang dilakukan oleh Negara-Negara Eropa (Barat) dengan tujuan untuk merebut bahan makanan, merebut pasar untuk menjual hasil-hasil produksi yang melimpah dan untuk menanamkan modal di Negara-negara koloni[10]. Bisa ditegaskan bahwa munculnya kajian postkolonialisme ditandai oleh berakhirnya Imperilisme  dan kolonialisme. Sekalipun bagi Child & Williams, sulit untuk mengidentifikasi sejak kapan masa kolonialisme itu berakhir; apakah sejak berakhirnya imperalisme yang dilakukan Inggris dan Prancis? Atau berakhirnya kontrol yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal di Amerika Latin? Atau sejak dideklarasikannya kemerdekaan Negara Amerika?[11]

Terepas dari kapan periode Postkolonialisme dimulai; Postkolonialiasme tetap sebetulnya bisa dirumuskan sebagai periode kolonialisme baru; dimana dominasi yang dilakukan oleh Barat (Negara-Negara Maju) tidak dilakukan secara fisik melalui imperialism tetapi dominasi dilakukan melalui hegemoni ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dalam istilah Shirkant B. Sawant[12] dikatakan bahwa “Pada dasarnya apabila kita merujuk pada literature-literature mengenai Post-Kolonial; sesungguhnya Post-Kolonial itu merupakan theory yang ingin melakukan investigasi ketika terjadi pertentangan di antara Dua Kebudayaan yang berbada; satu Kebudayaan merasa lebih superior dibandingkan dengan Kebudayaan yang lainnya sehingga muncul dominasi”. Lebih spesifik Shirkant B. Sawant mengatakan “The concept of Post-colonialism deals with the effects of colonization on cultures and societies” atau konsep dari post-Kolonial berhubungan dengan efek kolonialisasi di dalam kebudayaan dan kehidupan masyarakat[13].

Secara lebih jelas dan meyakinkan mayoritas ilmuan yang melakukan kajian di dalam psotkolonialisme mengatakan sesungguhnya kajian postkolonialisme benar-benar terlahir dengan terbitnya buku Orientalisme karya dari Edwar Said di tahun 1978[14]. Edwar Said sendiri merupakan seorang Palestin yang menetap lama di Amerika, Guru Besar dalam bidang filologi di Columbia University. Kajian Orientalisme Said banyak berhutang budi pada Michael Foucault dengan diskursunya dan Antonio Gramsci dengan hegemoninya. Tatapi sepertinya Gramsci jauh lebih banyak mempengaruhi Said; Gramsci menegaskan bahwa gagasan tertentu lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan-kebudayaan lainnya. Maka berangkat dari teori hegemoni Graamsci itu, Said membagi relasi kekuasaan pada Empat tipology[15];

Kekuasaan politis yang ditandai dengan kolonialisme dan imperlisme
Kekuasaan intelektual; sains, linguistic, dll
Kekuasaan kultural; selera, teks, nilai, dll
Kekuasaan moral; apa-apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan timur
Setelah membagi Empat relasi kekuasaan tersebut, Said menegaskan bahwa orientalisme merupakan sebuah diskursus yang tidak berkaitan dengan satu kekuasaan politis saja, melainkan dihasilakan melalui satu ajang pertukaran berbagai jenis kekuasaan. Orientalisme merupakan bentuk legitimasi atas superioritas kebudayaan Barat terhadap Timur (hegemoni kultural) yang tak berkesudahan. Barat memperlakukan Timur tidak sebagai adanya, melainkan bagaimana seharusnya, identitas Timur direpresentasikan, diformasikan, bahkan dideformasikan sesuai dengan hekendak mereka. Timur dipahami sebagai objek yang eksotis atau bahkan sebaliknya; Timur menganehkan atau bahkan Timur diTimurkan dengan dipaksa untuk menjadi Timur sebagai boneka Barat. Barat meihat Timut sebagai; barang temuan, daerah jajahan terbesar, sumber peradaban bagi Eropa, saingan, sumber kesadaran atau bahkan Timur cermin negative kebudayaan Barat karena; kenanak-kanakan, idiot, dan bar-bar, sehingga Timur adalah masalah yang harus diselesaikan. Orientalisme pada akhirnya bukanlah kajian tentang Timur melainkan tanda kekuasaan Barat terhadap Timur.

Terminologi Timur dibagi pada dua wilayah, yaitu Timur Jauh dan Timur Dekat. Timur Jauh meliputi wilayah-wilayah yang luas, Asia Tengah, Asia Timur dan Tenggara, atau bahkan daerah-daerah Latin Amerika dan Afrika. Sementara Timur dekat adalah Timur Tengah atau The Middle East. Sekalipun istilah Timur sangatlah Umum (Non-Barat) dan cakupannya begitu luas, akan tetapi hanya Timur Arab dan Islam atau The Middle East-lah yang menjadi fokus Eropa dan dianggap akan menghadang Eropa dengan tantangan yang gigih. Sehingga wajar apabila sebahagian kajian sejarah Orientalisme selalu ditandai dengan sikap Eropa yang problematis teradap Islam, inilah yang oleh Said dikatakan sebagai Orintalisme Sensitive[16].

Ada beberapa alasan mengapa The Middle East dijadikan sebagai fokus utama; (1) Islam memiliki relasi yang menggelishkan dengan Kristen, (2) Islam mampu mengambil tradisi Yahudi dan Kristen, (3) dimasa lalu Islam mampu mengembangkan diri secara politik dan Militer sehingga tidak tertandingi selama berabad-abad, (4) secara geografis tanah-tanah Islam bersebalahan dengan tanah-tanah injili dan jantung Islam sangat dekat dengan Eropa, dan (5) bahasa Arab dan Ibrani merupakan bahasa Semit yang mengoreksi materi-materi penting bagi agama Kristen. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah karena sejarah Islam yang begitu mengesankan, dimana dala waktu 10 tahun, orang-orang Islam di masa lalu mampu memaksa 76.000 kota bertekuk lutut, menghancurkan 100.000 gereja atau kuil, membangun 140.000 mesjid hingga 100 tahun kemudian Islam membentang dari India sampai ke Antlantik[17].

Maka bagi Said menjadi Aneh, ketika Orang Timur pergi ke Barat untuk belajar keberhasilan Barat untuk kemudian diterapkan di Timur. Barat ke Timur untuk menjadikannya sebagai objek kajian untuk kemudian disajikan ke orang-orang mereka sendiri. Maka tidak kurang dari periode tahun 1800-1950 telah lahir 60.000 buku di Barat tentang Timur. Namun sekalipun demikian Said  memberikan harapan pada akhirnya kekuasaan itu akan bergeser ke Timur Dekat (Islam)[18].

DAFTAR PUSTAKA

Wolfgang G. Schwanitz. Occidentalistic; Hasan Hanafi as Founding Fathers of Occidentalisme. Journal of Middle East Policy. III (1994)1, 173-59 Webversion 10-2008.

Hanafi, Hassan. 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina.

Pasha, Mustafa Kamal & Darban, Ahmad Adaby. 2005. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta; Pustaka Suara Muhammadiyah.

Nasution, Harun. 2002. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Nashir, Haedar. 2009. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Al-Jabiri, Muhammed Abed. 2003. Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam. Yogyakara: Islamika.

Malaka, Tan. 1948. GERPOLEK; Gerilya, Politik, Ekonomi. Tk. Marhen Collection.

Child, Peter & Williams, Petrick. Tt.  An Introduction to Post-Colonial Theory. London: Practic Hall.

Shirkant B. Sawant. Postcolonial Theory: Meaning and Significance. Proceedings of National Seminar on Postmodern Literary Theory and Literature , Jan. 27-28, 2012. Dalam;

http://igcollege.org/files/pdf/3%20Post-Colonialism.pdf

(Akses, 23/01/2014).

Said, Edwar W. 2010. Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

[1] Wolfgang G. Schwanitz. Occidentalistic; Hasan Hanafi sebagai Founding Fathers of Occidentalisme. Journal of Middle East Policy. III (1994)1, 173-59 Webversion 10-2008. hal.2

[2] Hanafi, Hassan. 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina. hal.16

[3] Hanafi, Hassan. Ibid.hal.4

[4] Hanafi, Hassan. Ibid.hal.9

[5] Pasha, Mustafa Kamal & Darban, Ahmad Adaby. 2005. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta; Pustaka Suara Muhammadiyah.

[6] Nasution, Harun. 2002. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT Bulan Bintang.

[7] Nashir, Haedar. 2009. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

[8] Al-Jabiri, Muhammed Abed. 2003. Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam. Yogyakara: Islamika.

[9] Ibid.

[10]  Malaka, Tan. 1948. GERPOLEK; Gerilya, Politik, Ekonomi. Tk. Marhen Collection.

[11]  Child, Peter & Williams, Petrick. An Introduction to Post-Colonial Theory. London: Practic Hall.

[12] Shirkant B. Sawant. Postcolonial Theory: Meaning and Significance. Proceedings of National Seminar on Postmodern Literary Theory and Literature, Jan. 27-28, 2012. Dalam;

http://igcollege.org/files/pdf/3%20Post-Colonialism.pdf

(Akses, 23/01/2014).

[13] Ibid. hal.120.

[14] Ibid. hal.123-124

[15] Said, Edwar W. 2010. Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. hal.x

[16] Ibid.hal.110

[17] Ibid.hal.110-112

[18] Ibid.hal.314-315